Terorisme adalah serangan-serangan
terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok
masyarakat. Berbeda dengan perang,
aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan
yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali
merupakan warga sipil.
Terorisme kian jelas
menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis,
motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode
Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror
bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah
merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes
against peace and security of mankind).
Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se
atau mala in se ,
tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi
sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang,
melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts
wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena
diatur demikian oleh Undang-Undang.
Dalam rangka mencegah
dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian
yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat
internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan
kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara
sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai
Terorisme.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang
ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara
langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban
pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan
memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini
menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan,
diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme.
Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta
tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu
untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu
dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun
2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan
nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan
Hukum Pidana Khusus.
Potensi Terorisme Di Indonesia
Indonesia memiliki potensi terorisme yang sangat besar
dan perlu langkah antisipasi yang ekstra cermat. Kebijakan-kebijakan pemerintah
yang kadang tidak dipahami oleh orang tertentu cukup dijadikan alasan untuk
melakukan teror. Berikut ini adalah potensi-potensi terorisme tersebut:
Pertama, terorisme yang dilakukan oleh negara lain di daerah
perbatasan Indonesia. Beberapa kali negara lain melakukan pelanggaran masuk ke
wilayah Indonesia dengan menggunakan alat-alat perang, sebenarnya adalah bentuk
terorisme. Lebih berbahaya lagi seandainya negara tetangga melakukan terorisme
dengan memanfaatkan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan dan kurang
diperhatikan oleh negera. Nasionalisme yang kurang dan tuntutan kebutuhan
ekonomi bisa dengan mudah orang diatur untuk melakukan teror.
Kedua, terorisme yang dilakukan oleh warga negara yang tidak
puas atas kebijakan pemerintah. Misalnya bentuk-bentuk teror di Papua yang
dilakukan oleh OPM. Tuntutan merdeka mereka dilatar-belakangi keinginan untuk
mengelola wilayah sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat. Perhatian
pemerintah yang dianggap kurang menjadi alasan bahwa kemerdekaan harus mereka
capai demi kesejahteraan masyarakat. Terorisme jenis ini juga berbahaya, dan
secara khusus teror dilakukan kepada aparat keamanan.
Ketiga, terorisme yang dilakukan oleh organisasi dengan dogma
dan ideologi tertentu. Pemikiran sempit dan pendek bahwa ideologi dan dogma
yang berbeda perlu ditumpas menjadi latar belakang terorisme. Bom bunuh diri,
atau aksi kekerasan yang terjadi di Jakarta sudah membuktikan bahwa ideologi
dapat dipertentangkan secara brutal. Pelaku terorisme ini biasanya menjadikan
orang asing dan pemeluk agama lain sebagai sasaran.
Keempat, terorisme yang dilakukan oleh kaum kapitalis ketika
memaksakan bentuk atau pola bisnis dan investasi kepada masyarakat. Contoh
nyata adalah pembebasan lahan masyarakat yang digunakan untuk perkebunan atau
pertambangan tidak jarang dilakukan dengan cara yang tidak elegan. Terorisme
bentuk ini tidak selamanya dengan kekerasan tetapi kadang dengan bentuk teror
sosial, misalnya dengan pembatasan akses masyarakat.
Kelima, teror yang dilakukan oleh masyarakat kepada
dunia usaha, beberapa demonstrasi oleh masyarakat yang ditunggangi oleh
provokator terjadi secara anarkis dan menimbulkan kerugian yang cukup besar
bagi perusahaan. Terlepas dari siapa yang salah, tetapi budaya kekerasan yang
dilakukan oleh masyarakat adalah suatu bentuk teror yang mereka pelajari dari
kejadian-kejadian yang sudah terjadi.
Terorisme yang terjadi di Indonesia, disebabkan oleh
faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor ideologi.
Faktor ekonomi. Kita dapat menarik kesimpulan bahwa faktor ekonomi
merupakan motif utama bagi para terorisme dalam menjalankan misi mereka.
Keadaan yang semakin tidak menentu dan kehidupan sehari-hari yang membikin
resah orang untuk melakukan apa saja. Dengan seperti ini pemerintah harus
bekerja keras untuk merumuskan rehabilitasi masyarakatnya. Kemiskinan membuat
orang gerah untuk berbuat yang tidak selayaknya diperbuat seperti: membunuh,
mengancam orang, bunuh diri, dan sebagainya.
Faktor sosial. Dalam keseharian hidup yang kita jalani terdapat
pranata sosial yang membentuk pribadi kita menjadi sama. Situasi ini sangat
menentukan kepribadian seseorang dalam melakukan setiap kegiatan yang
dilakukan. Sistem sosial yang dibentuk oleh kelompok radikal atau garis keras
membuat semua orang yang mempunyai tujuan sama dengannya bisa mudah berkomunikasi
dan bergabung dalam garis keras atau radikal. Misalnya, orang-orang yang
mempunyai pikiran keras di mana di situ terdapat suatu kelompok garis keras
yang bersatu mendirikan Tanzim al-Qaidah Aceh.
Faktor ideologi. Faktor ini yang menjadikan seseorang yakin dengan
apa yang diperbuatnya. Perbuatan yang mereka lakukan berdasarkan dengan apa
yang sudah disepakati dari awal dalam perjanjiannya. Dalam setiap kelompok
mempunyai misi dan visi masing-masing yang tidak terlepas dengan ideologinya.
Dalam hal ini terorisme yang ada di Indonesia dengan keyakinannya yang
berdasarkan Jihad yang mereka miliki.
Dilihat dari caranya, terorisme dibedakan
menjadi dua, yaitu teror fisik dan teror mental. Teror fisik adalah
teror untuk menimbulkan ketakutan, kegelisahan memalui sasaran fisik jasmani
dalam bentuk pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penyanderaan penyiksaan dan
sebagainya, sehingga secara nyata dapat dilihat secara fisik akibat tindakan
teror.
Sedangkan teror mental merupakan teror dengan
menggunakan segala macam cara yang bisa menimbulkan ketakutan dan kegelisahan
tanpa harus menyakiti jasmani korban (psikologi korban sebagai sasaran) yang
pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tekanan batin yang luar biasa,
akibatnya bisa gila, bunuh diri, putus asa dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar