Narkoba adalah singkatan dari Narkotika dan Obat
berbahaya. Selain “narkoba”, istilah lain yang diperkenalkan khususnya
oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah napza yang merupakan
singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah
ini, baik “narkoba” atau napza, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya
mempunyai resiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan narkoba
sebenarnya adalah psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat
hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun kini
pemanfaatannya disalah gunakan diantaranya dengan pemakaian yang telah diluar
batas dosis / over dossis. Narkoba atau NAPZA merupakan bahan/zat yang bila masuk
ke dalam tubuh akan mempengaruhi tubuh terutama susunan syaraf pusat/otak
sehingga jika disalahgunakan akan menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa dan
fungsi sosial. Karena itu Pemerintah memberlakukan Undang-undang (UU) untuk
penyalahgunaan narkoba yaitu UU No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No.22
tahun 1997 tentang Narkotika.
Hingga kini penyebaran narkoba sudah hampir tak bisa
dicegah. Mengingat hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat
narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya saja dari
bandar narkoba yang senang mencari mangsa didaerah sekolah, diskotik, tempat
pelacuran, dan tempat-tempat perkumpulan genk. Tentu saja hal ini bisa membuat
para orang tua, ormas,pemerintah khawatir akan penyebaran narkoba yang begitu
meraja rela.
Upaya pemberantas narkoba pun sudah sering dilakukan
namun masih sedikit kemungkinan untuk menghindarkan narkoba dari kalangan
remaja maupun dewasa, bahkan anak-anak usia SD dan SMP pun banyak yang
terjerumus narkoba. Hingga saat ini upaya yang paling efektif untuk mencegah
penyalahgunaan Narkoba pada anak-anak yaitu dari pendidikan keluarga. Orang tua
diharapkan dapat mengawasi dan mendidik anaknya untuk selalu menjauhi Narkoba.
Menurut kesepakatan Convention on the Rights of the
Child (CRC) yang juga disepakati Indonesia pada tahun 1989, setiap anak
berhak mendapatkan informasi kesehatan reproduksi (termasuk HIV/AIDS dan
narkoba) dan dilindungi secara fisik maupun mental. Namun realita yang terjadi
saat ini bertentangan dengan kesepakatan tersebut, sudah ditemukan anak usia 7
tahun sudah ada yang mengkonsumsi narkoba jenis inhalan (uap yang dihirup).
Anak usia 8 tahun sudah memakai ganja, lalu di usia 10 tahun, anak-anak
menggunakan narkoba dari beragam jenis, seperti inhalan, ganja, heroin, morfin,
ekstasi, dan sebagainya (riset BNN bekerja sama dengan Universitas Indonesia).
Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus
pemakaian narkoba oleh pelaku dengan tingkat pendidikan SD hingga tahun 2007
berjumlah 12.305. Data ini begitu mengkhawatirkan karena seiring dengan meningkatnya
kasus narkoba (khususnya di kalangan usia muda dan anak-anak, penyebaran
HIV/AIDS semakin meningkat dan mengancam. Penyebaran narkoba menjadi makin
mudah karena anak SD juga sudah mulai mencoba-coba mengisap rokok. Tidak jarang
para pengedar narkoba menyusup zat-zat adiktif (zat yang menimbulkan efek
kecanduan) ke dalam lintingan tembakaunya.
Hal ini menegaskan bahwa saat ini perlindungan anak
dari bahaya narkoba masih belum cukup efektif. Walaupun pemerintah dalam UU
Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 dalam pasal 20 sudah menyatakan bahwa
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (lihat lebih
lengkap di UU Perlindungan Anak). Namun perlindungan anak dari narkoba masih
jauh dari harapan.
Narkoba adalah isu yang kritis dan rumit yang tidak
bisa diselesaikan oleh hanya satu pihak saja. Karena narkoba bukan hanya
masalah individu namun masalah semua orang. Mencari solusi yang tepat merupakan
sebuah pekerjaan besar yang melibatkan dan memobilisasi semua pihak baik
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas lokal. Adalah sangat
penting untuk bekerja bersama dalam rangka melindungi anak dari bahaya narkoba
dan memberikan alternatif aktivitas yang bermanfaat seiring dengan menjelaskan
kepada anak-anak tentang bahaya narkoba dan konsekuensi negatif yang akan
mereka terima.
Anak-anak membutuhkan informasi, strategi, dan
kemampuan untuk mencegah mereka dari bahaya narkoba atau juga mengurangi dampak
dari bahaya narkoba dari pemakaian narkoba dari orang lain. Salah satu upaya
dalam penanggulangan bahaya narkoba adalah dengan melakukan program yang
menitikberatkan pada anak usia sekolah (school-going age oriented).
Di Indonesia, perkembangan pencandu narkoba semakin
pesat. Para pencandu narkoba itu pada umumnya berusia antara 11 sampai 24
tahun. Artinya usia tersebut ialah usia produktif atau usia pelajar. Pada
awalnya, pelajar yang mengonsumsi narkoba biasanya diawali dengan perkenalannya
dengan rokok. Karena kebiasaan merokok ini sepertinya sudah menjadi hal yang
wajar di kalangan pelajar saat ini. Dari kebiasaan inilah, pergaulan terus
meningkat, apalagi ketika pelajar tersebut bergabung ke dalam lingkungan
orang-orang yang sudah menjadi pencandu narkoba. Awalnya mencoba, lalu kemudian
mengalami ketergantungan.
Dampak negatif penyalahgunaan narkoba terhadap anak
atau remaja (pelajar) adalah sebagai berikut:
- Perubahan dalam sikap, perangai dan kepribadian,
- sering membolos, menurunnya kedisiplinan dan nilai-nilai pelajaran,
- Menjadi mudah tersinggung dan cepat marah,
- Sering menguap, mengantuk, dan malas,
- tidak memedulikan kesehatan diri,
- Suka mencuri untuk membeli narkoba.
- Menyebabkan Kegilaan, Pranoid bahkan Kematian !
Upaya pencegahan terhadap penyebaran narkoba di
kalangan pelajar, sudah seyogianya menjadi tanggung jawab kita bersama. Dalam
hal ini semua pihak termasuk orang tua, guru, dan masyarakat harus turut
berperan aktif dalam mewaspadai ancaman narkoba terhadap anak-anak kita.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan ketika melakukan
program anti narkoba di sekolah. Yang pertama adalah dengan mengikutsertakan
keluarga. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa sikap orangtua memegang
peranan penting dalam membentuk keyakinan akan penggunaan narkoba pada
anak-anak. Strategi untuk mengubah sikap keluarga terhadap penggunaan narkoba
termasuk memperbaiki pola asuh orangtua dalam rangka menciptakan komunikasi dan
lingkungan yang lebih baik di rumah. Kelompok dukungan dari orangtua merupakan
model intervensi yang sering digunakan.
Kedua, dengan menekankan secara jelas kebijakan tidak
pada narkoba. Mengirimkan pesan yang jelas tidak menggunakan membutuhkan
konsistensi sekolah-sekolah untuk menjelaskan bahwa narkoba itu salah dan
mendorong kegiatan-kegiatan anti narkoba di sekolah. Untuk anak sekolah harus
diberikan penjelasan yang terus-menerus diulang bahwa narkoba tidak hanya
membahayakan kesehatan fisik dan emosi namun juga kesempatan mereka untuk bisa
terus belajar, mengoptimalkan potensi akademik dan kehidupan yang layak.
Terakhir, meningkatkan kepercayaan antara orang dewasa
dan anak-anak. Pendekatan ini mempromosikan kesempatan yang lebih besar bagi
interaksi personal antara orang dewasa dan remaja, dengan demikian mendorong
orang dewasa menjadi model yang lebih berpengaruh.
Oleh sebab itu, mulai saat ini pendidik, pengajar, dan
orang tua, harus sigap serta waspada, akan bahaya narkoba yang sewaktu-waktu
dapat menjerat anak-anak sendiri. Dengan berbagai upaya tersebut di atas, mari
kita jaga dan awasi anak didik dari bahaya narkoba tersebut, sehingga harapan
untuk menelurkan generasi yang cerdas dan tangguh di masa yang akan datang
dapat terealisasikan dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar